Sabtu, 09 November 2013
jangan tangisi negeri ini
tak lagi keluhkan sesal harus lahir dinegeri ini
sudirman-sudirman reformasi harus berkembang dinegeri ini
Sukarno-sukarno reformasi harus bangkit dinegeri ini
Uwes Qorny-Uwes Qorni negeri ini harus melangkah tegak
agar Dipenogoro tak lagi keluhkan Java
agar Patimura tak sia-siakan maluku
agar Saprudin Prawiranegara tak lagi menangisis Banten
"selamat sore, selamat hari pahlawan-bau harum namamu abadi selamanya"
Jumat, 08 November 2013
PKI dan ALRI D.N. Aidit (1963)
PKI dan ALRI
D.N. Aidit (1963)
Sumber: PKI dan ALRI , Yayasan
"Pembaruan", Jakarta, 1963.
Diedit dan dimuat oleh Ted Sprague
(5 April, 2013)
Sekedar
Pengantar
Brosur PKI dan ALRI (SESKOAL) ini memuat ceramah Menteri/ Wakil ketua MPRS/Ketua CC PKI
D.N. Aidit di hadapan para mahasiswa Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut
(SESKOAL) di Jakarta. Ceramah itu diberikan pada tanggal 16 Juli 1963 dan
bertemakan Beberapa Masalah Politik dan Pertahanan.
Selain mengupas berbabgai soal pokok
Revolusi Indonesia, hubungan pertahanan dengan strategi umum revolusi Indonesia
dan hubungan Angkatan Bersenjata dengan Rakyat dalam pelaksanaan pertahanan,
penceramah membahas pula masalah penting bagi Negara kita, yaitu konsep negara
maritime
Dengan menerbitkan ceramah tersebut
kami harapkan dapat memberi sumbangan untuk menjadikan masalah pertahanan
masalah seluruh Rakyat Indonesia. Hal ini pasti memperlancar pelaksanaan
Ketetapan MPRS no II/1960 mengenai pertahanan Rakyat dan memperkuat persatuan
semua kekuatan revolusioner di negeri kita.
Penerbit
Agustus 1963
-------------------------------------------------
Saya sungguh merasa gembira dan oleh
karena itu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan yang
diberikan kepada saya baik sebagai Menteri/Wakil Ketua MPRS maupun sebagai
Comite Central Partai Komunis Indonesia, salah satu Partai NASAKOM, untuk
memberikan ceramah di hadapan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (SESKOAL).
Tak perlu kiranya saya jelaskan, bahwa ini bukan pertama kalinya saya diminta
memberi ceramah di muka Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Bahkan dengan
adanya ceramah ini sudah bisa dikatakan bahwa tradisi mencapai saling
pengertian dan saling mengenal antara Angkatan Bersenjata dengan berbagai
golongan Rakyat termasuk kaum Komunis, telah tertanam di dalam setiap Angkatan
Bersenjata kita.
Sewaktu saya dalam bulan Februari
yang lalu memberi ceramah di muka para mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu
Kepolisian (PTIK), antara lain saya katakan, bahwa ada orang yang bingung
mendengar bahwa Ketua PKI memberi ceramah kepada kader-kader kepolisian.
Sudah tentu, dengan adanya ceramah ini, ceramah kepada kader-kader tinggi
Angkatan Laut Republik Indonesia, dan sebelum ini telah diberikan pula
ceramah-ceramah kepada kader-kader tinggi AURI dan kader-kader tinggi ADRI,
kebingungan orang-orang semakin menjadi, sebab ternyata semua Angkatan
Bersenjata benar benar menjalankan wejangan Presiden Sukarno yang dikemukakan
dalam pidato “Tahun Kemenangan” tanggal 17 Agustus, 1962, yaitu “ memberantas
Komunisto-phobi”. Biarkanlah mereka bingung kita berjalan terus!
Memang memberantas Komunisto-phobi
merupakan tugas mutlak dalam meneruskan perjuangan Rakyat Indonesia untuk
menyelesaikan Revolusi, karena Komunisto-phobi dengan sendirinya berarti
Nasakom-phobi, Rakyat-phobi, masya-phobi, buruh-phobi dan tani-phobi.
Phobi-phobi ini adalah ibarat jarum racun yang menusuk persatuan
nasional kita. Pada kesempatan ini, saya member hormat setinggi-tingginya
kepada semua Angkatan Bersenjata yang, melalui ceramah-ceramah semacam
ini, melakukan sesuatu yang konkrit sekali memberantas phobi-phobi itu
Tema yang akan saya bahas dalam
ceramah ini adalah tentang “ Beberapa Masalah Politik dan Pertahanan “.
Sungguh suatu tema yang amat penting ! sebagaimana saya jelaskan dalam ceramah
saya di SESKOAD belum lama berselang, segala soal politik dan sosial yang mau
kita bahas, haruslah kita bahas dalam hubungan dengan Revolusi Indonesia.
Begitu pula dengan tema ceramah saya sekarang. Dalam hubungan dengan tema ini,
politik adalah strategi dan taktik pimpinan dari perjuangan Rakyat Indonesia
untuk mencapai cita-cita dan tujuan Revolusi untuk menyelesaikan Revolusi,
sedangkan pertahanan adalah strategi dan taktik pelaksanaan yang dilakukan
Angkatan Bersenjata RI bersama-sama dengan seluruh Rakyat di bidang pertahanan
militer dan keamanan untuk membela, menyelamatkan, mengabdi dan memenangkan
perjuangan revolusioner Rakyat Indonesia itu. Kedua-duanya harus tunduk pada
strategi umum Revolusi Indonesia yang digariskan dalam Manipol, yaitu bahwa
sekarang ini Rakyat Indonesia harus menyelesaikan Revolusinya yang bersifat
nasional dan demokratis sebagai landasan untuk selanjutnya memasuki fase atau
tahap kedua Revolusi Indonesia yang bersifat Sosialis, artinya yang bertujuan
dan bertugas membangunkan masyarakat sosialis yang adil.
Politik dan pertahanan adalah
dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan apalagi dipertentangkan, seperti
halnya Rakyat dengan Angkatan Bersenjata adalah dwitunggal yang juga tak dapat
dipisah-pisahkan apalagi dipertentangkan. Usaha-usaha untuk memisahkan apalagi
mempertentangkan politik dengan pertahanan atau Rakyat dengan Angkatan
Bersenjata adalah usaha kontra-revolusioner, karena menghambat dan mempersulit
perjuangan kita bersama untuk menyelesaikan revolusi kita.
Seperti halnya perjuangan Rakyat
harus dipimpin oleh politik yang tepat, juga pertahanan harus dipimpin oleh
politik yang tepat, seperti halnya perjuangan rakyat Indonesia harus dipimpin
Manifesto Politik yang menggariskan strategi umum Revolusi Indonesia, juga
pertahanan Republik
(halaman 8-9 tak ada)
kita tidak berani, dan bahkan tidak
mungkin berkumpul disini ! Hubungan-hubungan sosial yang terciptakan antara
manusia dengan manusia, yaitu susunan masyarakat, justru timbul dalam proses
manusia menundukkan alam dan menciptakan kekayaan material untuk kepentingan
kclangsungan dan perbaikan kehidupan manusia sendiri.
Setelah mendengar penjelasan saya
ini, mungkin ada yang terus memberi reaksi : Nah, lihat,orang-orang Komunis
memang orang-orang "materialis", hanya mcmikirkan materi, tidak
memikirkan ide, tidak punja “idealism”. R¢aksi-reaksi yang demikian
tidak mempunyai dasar sama sekali, sebab justru karena kaum Komunis mendasarkan
pengertiannya mengenai masyarakat kepada kenyataan yang obyektif, yaitu
kekayaan materil, maka terbukalah kemungkinan untuk merealisasi
ide-ide atau cita-cita kita. Ide-ide atau cita-cita seluruh umat
manusia, artinya untuk menciptakan masyarakat yang bisa menjamin kemakmuran
untuk setiap orang, untuk menciptakan masyarakat tanpa penghisapan atas manusia
oleh manusia. Cita-cita manusia yang paling luhur itu akan tinggal sebagai
cita-cita atau impian bclaka kalau kita tidak mempunyai alat-alat untuk
merealisasi cita-cita itu, yaitu pengertian yang tepat mengcnai hukum-hukum
perkembangan masyarakat. Jadi, kaum Komunis mengakui peranan aktif
daripada ide ,peranan ide dalam mengubah kcadaan. Tetapi kaum Komunis tidak
mungkin mcmbayangkan adanya ide tanpa didahului adanya materi, misalnya otak.
Ide tidak bisa keluyuran tanpa materi, khususnya tanpa otak.
PEMILIKAN
ATAS ALAT-ALAT PRODUKSI MENENTUKAN HUBUNGAN-HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Sejarah perkembangan
masyarakat mengajar kepada kita bahwa tenaga-tenaga produktif, yaitu
tenaga-tenaga yang menciptakan kekayaan materil termasuk alat-alat kerja,
sasaran kerja dan tenaga kcrja, berkembang secara terus menerus, secara tak
terputus-putus. Kejayaan manusia untuk mencipta, untuk menundukan alam agar
memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia sendiri memang tak terbatas dan sungguh mengagumkan.
Tetapi dalam proses menciptakan kekayaan materil melalui tenaga-tenaga
produktif itu, timbulah hubungan-hubungan produksi, yaitu hubungan antara
manusia dengan manusia yang pada pokoknya ditentukan oleh kenyataan siapa
yang memiliki alat-alat produksi yang terpenting, siapa yang menguasai proses
produksi itu.
Sejarah perkembangan masyarakat
mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap masyarakat yang berdasarkan
pemilikan perseorangan atas alat-alat produksi, yaitu yang berdasarkan
penghisapan oleh mereka yang memiliki alat-alat produksi atas mereka yang tidak
memiliki alat-alat produksi akan tiba waktunya di mana hubungan-hubungan
produksi itu merupakan belenggu terhadap perkembangan secara terus-menerus
tenaga-tenaga produktif itu. Hubungan-hubungan produksi yang bersifat feudal
dimana tuan tanah menghisap kaum tani merupakan belenggu terhadap perkembangan
tenaga-tenaga produktif dalam masyarakat feudal. Hubungan-hubungan produksi
yang bersifat kapitalis, dimana burjuasi (kapitalis) menghisap proletariat,
merupakan belenggu terhadap perkembangan tenaga-tenaga produktif dalam
masyarakat kapitalis. Hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat Indonesia
sekarang mengambil bentuk kekuasaan modal monopoli asing, yaitu kekuasaan
imperialis, yang bersekutu dengan kaum feodal, yang merupakan belenggu terhadap
tenaga- tenaga produktif kaum buruh dan seluruh Rakyat Indonesia yang dihisap
oleh imperialime dan sisa-sisa feodalisme.
Kontradiksi antara tenaga-tenaga
produktif dengan hubungan-hubungan produksi di dalam proses perkembangannya
menimbulkan revolusi. Ini berarti, bahwa kontradiksi itu harus diselesaikan dgn
melalui revolusi. Tujuan daripada revolusi ialah untuk mengakhiri
hubungan-hubungan produksi yang telah menjadi belenggu itu, artinya mengubah
susunan masyarakat dan membangun masyarakat baru yang membebaskan tenaga-tenaga
produktif untuk bisa berkembang tanpa halangan. Perjuangan kaum tani melawan
penghisapan feudal dan perjuangan seluruh rakyat melawan penghisapan imperialis
atau kekuasaan imperialis merupakan perjuangan untuk menyelesaikan revolusi
kita. Tanpa perjuangan-perjuangan itu, revolusi Indonesia tidak akan bisa
diselesaikan
Kalau apa yang dimaksudkan dgn
revolusi sudah jelas, maka tidak sulit bagi kita untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan Rakyat. Rakyat berarti semua golongan yang berkepentingan
supaya revolusi itu diselesaikan, yaitu semua golongan yang ikut berevolusi.
Dan oleh karena Revolusi Indonesia merupakan revolusi anti Feodal dan
anti-imperialis, maka bagi Indonesia, Rakyat yang ikut berevolusi adalah semua
golongan yang dihisap atau yang dirugikan oleh feodalisme dan imperialisme itu.
Jadi orang-orang Indonesia yang memihak imperialisme dan feodalisme tidak
mungkin kita masukan kategori Rakyat, mereka termasuk kategori anti-Rakyat,
walaupun mereka warga negara Indonesia
ORANG
REVOLUSIONER ADALAH ORANG YANG AKTIF MEMIHAK PERJUANGAN RAKYAT
Selanjutnya, kita perlu pula
mencapai pengertian yang tepat mengenai apa yang dimaksud dengan revolusioner,
Bung Karno telah berulang-ulang berkata bahwa “ pada akhirnya manusialah
yang menentukan”. Yang dimaksudkan dengan ini ialah bahwa tugas-tugas
di setiap bidang kenegaraan atau kemasyarakatan hanya bisa dijalankan oleh
orang-orang yang menyatukan diri atau yang mengintegrasikan diri dengan
tugas-tugas revolusi Kita. Revolusi yang berarti suatu perubahan susunan
masyarakat secara strukturil dan hakiki tidak akan bisa berjalan jika kekuasaan
negara tidak disesuaikan dengan susunan masyarakat baru yang harus dibangun.
Bagaimanapun juga, kekuasaan negara adalah dijalankan oleh orang-orang yang
memegang kekuasaan, dan dengan sendirinya kekuasaan negara hanya bisa dikatakan
sesuai dengan susunan masyarakat yang harus dibangun jika kekuasaan negara
diisi dengan orang-orang revolusioner, yaitu orang-orang yang mengintegrasikan
diri dengan perjuangan Rakyat untuk menyelesaikan revolusi, yang sepenuhnya dan
secara aktif berpihak pada perjuangan Rakyat. Dalam revolusi anti imperialis
dan anti-feodal, maka ciri-ciri pokok orang-orang revolusioner ialah ciri-ciri
anti-imperialis dan anti-feodal; dan karena revolusi Indonesia berperspektif
Sosialisme, maka orang-orang revolusioner harus bercita-cita sosialisme.
Mungkin masih ada orang yang
beranggapan,bahwa orang-orang revolusioner cukup berkecimpung di bidang
kepartaian dan organisasi massa saja, sedangkan dalam kekuasaan negara
orang-orang harus “obyektif’, “berdiri diatas politik “, “tidak berpihak”.
Anggapan ini adalah anggapan yang salah dan reaksioner, karena bisa membuka
pintu bagi kaum kontra-revolusioner untuk bercokol dalam alat-alat kekuasaan
negara. Padahal dalam tiap revolusi soal yang terpenting adalah soal kekuasaan
negara.
Di dalam suatu revolusi, yang
obyektif ialah berpihak kepada revolusi, berpihak kepada keharusan obyektif
daripada perkembangan masyarakat. Sikap-sikap yang lain adalah sikap yang
subyektif, sebab siapapun yang tidak aktif mengintegrasikan diri dengan
revolusi, yang tidak berpihak kepada revolusi, yang tidak menyesuaikan dan
mendasarkan segala kegiatan-kegiatannya serta tindakan-tindakannya pada
kebutuhan revolusi, dan malahan sadar atau tidak, bisa dipergunakan untuk
maksud-maksud kontra-revolusi. Jadi kelirulah pendapat sementara orang yang
berkemauan baik yang mengatakan bahwa kita tidak boleh bersikap obyektif
terhadap revolusi. Juga keliru pendapat sementara orang bermauan buruk yang
mengatakan, bahwa berpihak kepada revolusi berarti bersikap tidak obyektif.
Pendapat-pendapat ini disamping tidak benar, juga bersifat membenarkan
“keobyektifan” kaum reaksioner. Bukankah kaum reaksioner dan
kontra-revolusioner selalu bersemboyan "obyektif", "tidak
berpihak" untuk kegiatan kontra-revolusi mereka? Padahal merekalah
manusia-manusia yang paling subyektif, paling berat sebelah, karena mereka
menentang arus revolusi yang obyektif. Kita tidak boleh tertipu
semboyan-semboyan itu. Semboyan-semboyan itu sengaja dipergunakan karena dalam
keadaan Rakyat sedang menjalankan revolusi, maka semboyan yang terang-terangan
berlawanan dengan revolusi akan sangat mudah membuka kedok kaum kontra-revolusi
sehingga akan menggagalkan usaha-usaha mereka sebelum dimulai. Jadi sikap yang
paling obyektif adalah sikap memihak Rakyat dan revolusi, karena perkembangan
obyektif adalah menurut kehendak rakyat dan seuai dengan hukum-hukum revolusi
Jika kita ingin menyelesaikan
revolusi, maka seluruh aparatur negara pun harus dijalankan oleh orang-orang
revolusioner, yaitu orang-orang yang mendasarkan setiap kegiatan serta
tindakannya pada prinsip-prinsip pokok revolusi itu, yang tunduk kepada
strategi umum Revolusi Indonesia. Partai-partai politik harus tunduk kepada
strategi umum Revolusi Indonesia. Organisasi-organisasi massa serta
organisasi-organisasi lain harus tunduk kepada strategi umum revolusi
indonesia. Angkatan Bersenjata, yaitu seluruh aparat pertahanan dan keamanan
harus tunduk kepada strategi umum revolusi Indonesia, seluruh aparatur negara
harus tunduk kepada strategi umum revolusi Indonesia. Hanya jika demikian maka
akan terbukalah kemungkinan bagi kita untuk menyelesaikan revolusi kita dalam
arti kata yang sesungguhnya
STRATEGI
UMUM REVOLUSI INDONESIA DITENTUKAN DALAM MANIPOL
Apa yang dimaksud dengan “strategi
umum Revolusi Indonesia” ?
Bagi kita di Indonesia, pertanyaan
itu sudah tidak sulit untuk dijawab karena kita sudah mempunyai resmi yang memberi
jawabannya, yaitu Manifesto Politik. Sungguh untung kita, dengan memiliki
Manipol itu kita sudah tidak perlu debat-debat lagi mengenai hal yang demikian
pokok itu. Karena Manipol merupakan garis yang memimpin kita semua, merupakan
haluan yang telah ditetapkan oleh MPRS sebagai haluan negara, maka kita telah
melewati satu tingkat yang berat. Dengan adanya Manipol yang telah diterima
oleh semua golongan rakyat yang berrevolusi, dan yang telah diterima seluruh
Angkatan Bersenjata, maka telah hilang alasan pokok untuk timbulnya kontradiksi
diantara dua sector masyarakat kita. Keheranan orang-orang asing, misalnya,
jika melihat komunis diundang untuk memberi ceramah kepada pegawai-pegawai
departemen ini, kepada Angkatan Bersenjata itu, gampang dijawab. Manipol adalah
program bersama seluruh Rakyat Indonesia termasuk Angkatan Bersenjata, jadi
tidak ada alasan sedikitpun untuk adanya komunisto-phobi atau anti-komunisme
seperti di negara-negara imperialis. Yang perlu sekarang ialah untuk
menjalankan program bersama itu. Yang perlu sekarang ialah untuk mencapai
pengertian tentang cara menjalankan program bersama itu, dan untuk bersama-sama
menyingkirkan setiap penghalang terhadap maksud yang mulia itu
Seperti dikatakan oleh Presiden
Sukarno dalam Pidato Resopim, tanggal 17 Agustus 1961: Negara dan Rakyat sudah
menerima Manipol dengan ketetapan MPRS-nya, maka semua warga sekarang harus
dipimpin oleh Manipol. Rakyat sudah dipimpin oleh Manipol, militer juga harus
dipimpin oleh Manipol. Bukan militer atau bedil yang memimpin Manipol tetapi
Manipol yang memimpin militer atau bedil“. (Resopim. Departemen Penerangan
penerbitan khusus no 180 hal 29). Inilah yang oleh kami kaum Komunis dinamakan
“ Politik adalah Jenderal”.
Mari kita bahas strategi umum
revolusi Indonesia seperti digariskan didalam Manipol. Manipol menyatakan bahwa
”kewajiban-kewajiban revolusi Indonesia yang terpenting ialah membebaskan
Indonesia dari semua imperialis dan menegakkan tiga segi kerangka”. Dan apa
yang dimaksudkan dengan tiga segi kerangka itu?
Kesatu. “Pembentuk satu Negara
Indonesia yang berbentuk Negara Kesatuan dan Negara Kebangsaan yang demokratis,
dengan wilayah kekuasaan dari Sabang sampai Merauke”. Artinya mendirikan negara
kesatuan Republik Indonesia yang nasional dan demokratis.
Kedua. “Pembentukan satu masyarakat
yang adil dan makmur materil dan spiritual dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia itu”. Artinya, berhari depan masyarakat sosialis Indonesia,
masyarakat yang adil atau masyarakat yang tanpa penghisapan untuk menuju kemasyarakatan
adil dan makmur, masyarakat yang oleh kami kaum Komunis dinamakan masyarakat
Komunis.
ketiga. “Pembentukan satu
persahabatan yang baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia,
terutama sekali dengan negara-negara Asia Afrika, atas dasar hormat-menghormati
satu sama lain dan atas dasar bekerja sama membentuk satu Dunia Baru yang
bersih dari imperialisme dan kolonialisme, menuju kepada perdamaian Dunia yang
sempurna”. (Tubapi, hal 81). Artinya, menjalankan politik luar negeri yang bebas
aktif, yang anti imperialism, untuk kemerdekaan nasional, demokrasi dan
perdamaian dunia.
Dengan demikian, tiga segi kerangka
Manipol memberi gambaran yang sangat jelas tentang sifat masyarakat yang harus
dibangun, tentang sifat negara yang diperlukan, tentang pokok-pokok politik
dalam negeri dan luar negeri daripada negara itu.
Selanjutnya, tentang sifat Revolusi
Indonesia, Manipol menyatakan sbb: “Revolusi Indonesia adalah revolusi nasional
menentang imperialsme kolonialisme” dan bahwa walaupun “revolusi Indonesia
bersifat multi komplek, tetapi sifat nasional daripada Revolusi Indonesia
adalah sangat menonjol”. (Tubapi, hal 84)
Selanjutnya dikatakan bahwa : “di
samping sifat nasionalnya. Revolusi Indonesia sebagai juga semua revolusi di
zaman modern sekarang, adalah revolusi demokratis. Sifat demokratis daripada
revolusi Indonesia dinyatakan oleh tugasnya menentang keterbelakangan feudal
dan menentang otokrasi atau kediktatoran, baik militer maupun perseorangan”.
(Tubapi, hal 84). Pendeknya sasaran-sasaran pokok Revolusi Indonesia ialah
imperialisme dan feodalisme, Revolusi Indonesia adalah revolusi anti-imperialis
dan anti-feudal.
Dengan demikian menjadi jelas
strategi umum revolusi Indonesia, yaitu: menghancurkan imperialism dan
feodalisme, mendirikan negara kesatuan republik Indonesia yang nasional dan
demokratis, sebagai syarat mutlak untuk menuju kemasyarakat Sosialis Indonesia.
REVOLUSI
INDONESIA REVOLUSI SEMUA KLAS DAN GOLONGAN ANTI IMPERIALIS
Berdasarkan ini semua, Manipol
selanjutnya menetapkan, bahwa “ Revolusi Indonesia adalah revolusi bersama, dan
semua klas dan golongan yang menentang imperialism kolonialisme” dan bahwa
tugas daripada Revolusi Indonesia adalah untuk mendirikan kekuasaan Gotong
royong, kekuasaan demokratis yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan, yang
menjamin terkonsetrasinya seluruh kekuatan nasional, seluruh kekuatan rakyat”.
( Tubapi, hal 85).
Tugas ini berarti bahwa kekuasaan
yang harus didirikan ialah kekuasaan yang bersih dari aspek anti Rakyat.
Tentunya kekuasaan yang mengandung aspek anti rakyat tidak bisa diharapkan akan
menjamin terkonsentrasinya seluruh kekuatan Rakyat. Bukankah penegasan Manipol
ini penegasan yang paling jelas dan meragukan lagi tujuan rituling kekuasaan
atau aparatur negara? Apek pro-rakyat harus diperkuat, dan aspek anti-Rakyat
harus dilenyapkan dengan jalan mengusir elemen-elemen anti Rakyat dari
kekuasaan negara. Demikianlah cara satu-satunya dalam melaksanakan Manipol
dibidang kekuasaan negara.
Dengan menetapkan pokok-pokok ini.
Manipol selanjutnya menetapkan pula tentang kekuatan-kekuatan sosial daripada
Revolusi Indonesia. Dikatakan sbb,: “ Jadi jelaslah bahwa kekuatan-kekuatan
sosial Revolusi Indonesia. Yaitu seluruh Rakyat Indonesia dengan Kaum Buruh dan
Kaum tani sebagai kekuatan pokoknya tanpa melupakan peranan penting dari
golongan-golongan lain, adalah sangat besar dan meyakinkan akan menangya
Revolusi Indonesia”. (Tubapi, hal 81). Dan mengapa dikatakan bahwa kaum
buruh juga dijelaskan dalam Manipol sbb:
“dengan tidak mengurangi arti dari
klas-klas dan golongan-golongan lain sebagaimana sering ditekankan oleh
Presiden Sukarno, kaum buruh dan kaum tani, baik karena vitalnya maupun karena
sangat banyak jumlahnya, harus menjadi kekuatan pokok dalam revolusi dan harus
menjadi sokoguru masyarakat adil dan makmur di Indonesia”. (Tubapi, hal 82).
Jadi “ karena vitalnya maupun karena sangat banyak jumlahnya”. Dan kalau
Manipol berbicara tentang vitalnya kaum buruh dan kaum tani, ini tak lain tak
bukan oleh karena kedua klas, atau golongan itu merupakan penciptaan utama
kekayaan materiil didalam masyarakat.
BAGIAN
TERBESAR ANGKATAN BERSENJATA ANAK-ANAK BURUH DAN TANI
Saya tidak jemu-jemunya menekankan
kepada penjelasan Manipol ini, sebab ada orang yang suka lupa akan vitalnya
kaum buruh dan kaum tani, dan yang malahan menganggap kaum buruh dan kaum tani
tidak vital, tidak perlu diperhitungkan dan diperhatikan, tindakan-tindakan
mereka justru memberi kesan bahwa yang mereka anggap vital ialah yang
untuk menginjak-injak hak-hak kaum buruh dan kaum tani, dan menindas
gerakan-gerakan mereka. Sikap yang demikian berlawanan dengan Manipol dan
berlawanan dengan strategi umum Revolusi Indonesia. Sikap yang demikian sadar
atau tidak, pada dasarnya merupakan sikap yang kontra-revolusioner. Kalau kita
sekarang membahas tema politik dan pertahanan, maka dapat ditegaskan bahwa
sikap yang demikian tidak boleh diberi tempat dalam aparatur pertahanan kita,
lebih-lebih karena bagian terbesar anggota Angkatan Bersenjata kita terdiri
dari anak-anak kaum buruh dan terutama anak-anak kaum tani yang “sangat banyak
jumlahnya” itu. Pada hakekatnya, Angkatan Bersenjata kita adalah “kaum tani
bersenjata’.
Jika telah ditetapkan bahwa Revolusi
Indonesia adalah revolusi bersama dari semua klas dan golongan yang menentang
imperialisme, kolonialisme, dan dengan sendirinya juga neo-kolonialisme, maka
menjadi jelas pula mengapa front persatuan nasional merupakan hal yang mutlak
perlu bagi berhasilnya revolusi kita itu. Tentang apa yang dimaksudkan dengan
front persatuan nasional, oleh Presiden Sukarno sudah diberikan berbagai
rumusan, antara lain “samenbundeling van alle revolutionnare krachten”
(istilah yang dipergunakan di dalam pidato konsepsi Presiden yang diucapkan
pada tanggal 21 Februari 1957) atau ‘konsentrasi kekuatan nasional’ (istilah
yang dipergunakan di dalam Manipol). Di dalam Manipol, Bung Karno berkata bahwa
‘modal pokok bagi tiap revolusi nasional, menentang imperialisme kolonialisme
ialah konstrasi kekuatan nasional, dan bukan perpecahan kekuatan nasional
(Tubapi, hal 82 ).
Jadi, tugas untuk menciptakan dan
menggalang front persatuan nasional adalah tugas revolusioner, dan sebaliknya,
usaha untuk memecah belah front persatuan nasional adalah usaha
kontra-revolusioner.
PANCASILA
ALAT PEMERSATU!
Berbicara tentang front persatuan
nasional tidak bisa dianggap lengkap kalau kita tidak sekaligus berbicara pula
tentang Pancasila. Mengapa demikian? Pancasila selalu dikemukakan sebagai
filsafat negara Republik Indonesia. Ini ialah karena Pancasila justru
mencerminkan kenyataan bahwa rakyat Indonesia meliputi berbagai golongan,
sukubangsa serta aliran yang berbeda-beda, sedangkan perbedaan itu bisa
dirumuskan dalam satu rangkaian sila-sila yang diakui bersama oleh seluruh
bangsa. Justru karena perbedaan-perbedaan itu Rakyat Indonesia membutuhkan
front persatuan nasional. Ini mencerminkan toleransi revolusioner yang tinggi
yang telah menjiwai gerakan kemerdekaan nasional Indonesia sejak semula dan
terutama sejak tahun-tahun duapuluhan.
Jadi filsafat yang digambarkan dalam
Pancasila itu ialah filsafat persatuan atau filsafat Gotongroyong. Dalam
pidatonya pada tanggal 1 juni 1945 yang berjudul Lahirnya Pancasila, Bung karno
berkata : “jikalau saja penas yang lima menjadi tiga dan tiga menjadi satu,
maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “ Gotong
royong!” (Tubapi, hal 37). Oleh karena itulah Presiden Sukarno selalu dengan
tepat menamakan Pancasila sebagai pemersatu.
Mari kita memperhatikan benar-benar
apa yang dikatakan oleh Presiden Sukarno mengenai hal ini: “Pancasila adalah
alat pemersatu bukan alat pemecah belah! Dengan Pancasila, kita juga
mempersatukan tiga aliran besar yang bernama Nasakom itu. Jadi jangan
mempergunakan Pancasila utnuk memecah-belah Nasakom, mempertentangkan kaum
nasionalis dengan kaum agama, kaum agama dengan kaum komunis, kaum nasionalis
dengan kaum komunis. Siapa yang main-main dengan Pancasila untuk maksud
pengadudombaan itu, ia adalah orang yang sama sekali tak mengerti Pancasila
atau orang yang durhaka kepada Pancasila atau orang yang …..kepalanya sinting“.
(Resopim, Departemen Penerangan, Penerbitan khusus, no.180, hal 42)
Bukankah ini suatu penegasan yang
setegas-tegasnya? Tanpa tedeng aling-aling. Orang yang mempreteli satu sila
untuk mengadu salah satu aliran revolusioner lainnya dalam masyarakat adalah
orang yang tidak mengerti Pancasila atau orang ….kepalanya sinting. Demikianlah
penilaian yang sewajarnya terhadap orang-orang yang mempergunakan Pancasila
sebagai pemecah belah.
NASAKOM
POROS PERSATUAN NASIONAL
Dan yang sangat penting pula
diperhatikan ialah bahwa kalau Bung karno menamakan Pancasila sebagai alat
pemersatu, yang dimaksudkan justru ialah alat pemersatu antara tiga aliran
besar yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, yaitu Nasionalisme, Agama dan
Komunisme, atau yang dipersatukan dalam istilah NASAKOM. NASAKOM juga
merupakan bagian daripada filsafat persatuan atau filsafat Gotongroyong Rakyat
Indonesia sebab, seperti dikatakan oleh Bung Karno ( juga dalam rapat pidato
Resopim, hal 39-40) “ Nasakom adalah kenyataan-kenyataan hidup yang tak dapat
dibantah…di dalam masyarakat Indonesia”. Gagasan Nasakom mempunyai akar
sejarahnya sejak lahirnya perjuangan kemerdekaan nasional, perjuangan
revolusioner Rakyat Indonesia sejak tahun-tahun duapuluhan. Hal ini dibuktikan
antara lain oleh tulisan Bung Karno dalam tahun 1926 yang berjudul “
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” (Di bawah Bendera Revolusi hal 1-23).
Sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia adalah sejarah berkembangnya tiga aliran
ini, Dan sejarah itu membuktikan bahwa selama tiga alisan itu bersatu, maka
jalannya gerakan revolusioner kita lancar, sedangkan jika tiga aliran itu
terpecah, maka gerakan revolusioner kita berjalan seret. NASAKOM adalah poros
daripada front persatuan nasional kita. Menerima Pancasila harus menerima
Nasakom. Mengenai hali ini Bung Karno telah berkata dalam pidato Re-so-pim sbb:
“Siapa yang setuju kepada Pancasila,
harus setuju kepada NASAKOM, siapa yang tidak setuju kepada NASAKOM sebenarnya
tidak setuju Pancasila. Sekarang saja tambah. Siapa setuju kepada Undang-undang
Dasar 1945 harus setuju NASAKOM, siapa yang tidak setuju kepada NASAKOM,
sebenarnya tidak setuju kepada Undang-Undang Dasar 45“. (Resopim, hal 40 ).
Kutipan ini benar-benar menggambarkan kesatuan yang mutlak antara Revolusi 45 yang
menjiwai Undang-undang Dasar 45 dengan Pancasila dan Nasakom. Memang Durhaka
atau sinting orang-orang yang sampai sekarang tetap tidak mengerti atau tidak
mau mengerti kebenaran yang sedemikian sederhana ini.
DUA
TAHAP REVOLUSI INDONESIA
Selanjutnya, jika kita mau mengerti
secara mendalam mengenai strategi umum Revolusi Indonesia, kita harus mengerti
bukan hanya mengenai sasaran pokoknya, mengenai tugas kewajibannya mengenai
kekuatan sosialnya, tetapi harus juga kita mengerti bahwa revolusi Indonesia adalah
revolusi yang berjalan melalui dua tahap. Soal ini sebenarnya sudah jelas dari
Manipol sendiri kemudian diperjelas lebih lanjut oleh Bung karno didalam pidato
Jarek, dan penegasan yang paling lengkap dikemukakan didalam deklarasi Ekonomi
(Dekon) dalam hubungan dengan strategi dasar ekonomi Indonesia. Disitu
dikatakan bahwa:
“perlu disadari dan dipahami bahwa
strtegi dasar ekonomi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari strategi umum
Revolusi Indonesia” dan bahwa “Menurut strategi dasar tahap pertama kita harus
membangun susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih
dari sisa-sisa imperialisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap pertama
adalah persiapan utnuk tahap kedua, yaitu tahap ekonomi Sosialis Indonesia,
ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, tanpa l’exploitation de
l’homme par l’homme (Dekon, pasal3). Dekon juga mengatakan dalam pasal 4
bahwa “Kita sekarang berada dalam tahap pertama Revolusi kita”
Dengan penegasan yang demikian, maka
Dekon secara ilmiah mengupas segi yang mutlak dari pada revolusi kita. Ia
mengupas secara kongkrit jalan yang harus dilalui untuk bisa sampai kepada
tujuan kita, yaitu masyarakat Sosialis Indonesia. Mengapa tahap nasional
demokratis itu harus dilalui dan diselesaikan sebelum bisa mulai dengan
pembangunan sekonomi Sosialis? Tidak bisa diharapkan bahwa dalam masyarakat di
mana masih terdapat sisa-sisa imperialisme, artinya masyarakat yang belum
merdeka penuh, dan masih terdapat sisa-sisa feodalisme, akan terbuka
kemungkinan untuk membangun Sosialisme. Tidak ada hal yang lebih dibenci oleh
kaum imperialis daripada sosialisme; jadi dengan sendirinya sisa-sisa itu harus
dibersihkan dulu; inilah sebabnya mengapa masyarakat atau ekonomi nasional yang
bersih harus dibangun dari sisa-sisa imperialisme harus dibangun lebih dulu,
baru bisa dimulai pembangunan masyarakat atau ekonomi Sosialis.
Demikian pula, sisa-sisa Feodalisme
juga merupakan rintangan mutlak terhadap pembangunan Sosialisme. Tak mungkin
sama sekali dibayangkan bahwa di dalam masyarakat di mana tanah, salah satu
alat produksi terpenting, masih dimiliki secara monopoli oleh tuantanah, di
mana kerja-lebih atau hasil-lebih daripada kaum tani dirampas oleh tuantanah,
akan terbuka kemungkinan utnuk melaksanakan pembangunan Sosialis. Tuntutan kaum
tani akan tanah harus dipenuhi lebih dulu supaya kaum tani sendiri bisa
dimobilisasi untuk ikut mambangun ekonomi yang maju. Yang berindustri, sehingga
sektor pertanian dan perkebunan dapat menjadi dasar yang kokoh justru karena
tenaga-tenaga produktif telah dibebaskan dari hubungan-hubungan produksi yang
bersifat feudal itu, talah dibebaskan dari penghisapan feudal.
Jadi sifat ilmiah rumusan Dekon
tentang adanya dua tahap revolusi itu terletak dalam kenyataan bahwa ia
menunjukan jalan untuk mencapai sosialisme yang merupakan hari depan atau
perspektif dari Revolusi Indonesia. Justri karena Sosialisme merupakan
perspektif revolusi kita, maka tahap nasional dan demokratis atau tahap
menghancurkan imperialism dan sisa-sisa feodalisme harus dilalui lebih dahulu.
PERSAMAAN
DAN PERBEDAAN MASYARAKAT SOSIALIS DAN MASYARAKAT KOMUNIS
Masih ada satu hal lagi yang perlu
saya jelaskan dalam hubungan ini. Ada orang yang merasa curiga jika mendengar
orang Komunis berbicara tentang pembangunan masayarakat Sosialis karena mengira
bahwa ini suatu tipu muslihat; sebenarnya, kata mereka kaum komunis bukan mau
membangun masyarakat Sosialis melainkan masyarakat Komunis. Seakan akan
mayarakat Komunis berlainan samasekali dengan masyarakat Sosialis bahkan
seakanakan bertentangan! Anggapan yang demikian adalah samasekali keliru,
karena walaupun memang ada perbedaan tertentu antara dua macam masyarakat itu,
namun kedua-duanya itu sesungguhnya merupakan sata cara produksi, satu jenid
susunan masyarakat. Dua-duanya merupakan masyarakat tanpa penghisapan atas
manusia oleh manusia. Bedanya ialah, bahwa masyarakat Sosialis merupakan
tingkat pertama di mana tarap produksi belum mencukupi untuk memenuhi secra
berlimpah-limpah ebutuhan manusia, Jadi distribusi hasil-hasil produksi diatur
sesuai dengan sumbangan masing-masing orang di dalam masyarakat terhadap
usaha-usaha produksi atau dengan perkataan lain: “Setiap orang bekerja menurut
kesanggupannya”. Sedangkan dalam masyarakat Komunis yang hanya mungkin dicapai
sesudah selesai pembangunan Sosialisme, tingkat produksi telah sedemikian
tinggi sehingga semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi. Dalam masyarakat yang
demikian, masing-masing orang menyumbangkan kepada usaha-usaha produktif
menurut kemampuannya sedangkan distribusi hasil-hasil produksi sepenuhnya
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing orang atau dengan perkataan lain: “
Setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima menurut
kebutuhannya”.
Dengan demikian, masyarakat Sosialis
merupakan masyarakat yang adil dalam arti masyarakat tanpa penghisapan atas
manusia oleh manusia.tetapi belum makmur atau belum begitu makmur. Sedangkan
masyarakat Komunis merupakan masyarakat yang adil dan makmur; adil karena tanpa
penghisapan atas manusia oleh manusia, dan makmur karena taraf produksi yang
sudah dicapai adalah sangat tinggi, produksi barang-barang sudah
berlimpah-limpah.
PEMILIKAN PERSEORANGAN ATAS
ALAT-ALAT PRODUKSI SUMBER PENGHISAPAN
Karena masyarakat Sosialis merupakan
perspektif Revolusi Indonesia, maka dengan sendirinya kita sering berbicara
tentang masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Bung Karno
berulang-ulang menekankan kepada prinsip ini karena memang inilah hakekat
masyarakat Sosialis. Tapi sayangnya, ternyata bahwa masih ada saja orang yang
tidak mengerti apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan masyarakat tanpa
penghisapan atas manusia oleh manusia. Mereka tidak mengerti hal ini karena
pada pokoknya mereka tidak mengerti hakekat daripada penghisapan atas manusia
oleh manusia itu sendiri. Penghisapan atau dalam kata-kata lain,
perampasan oleh seseorang terhadap hasil-lebih atau kerja lebih orang lain
timbul dari hubungan produksi artinya di mana satu pihak memiliki alat-alat
produksi dan pihak yang lain tidak memiliki alat-alat produksi. Dengan adanya
hubungan produksi ini, maka pihak yang memiliki alat-alat produksi dapat
merampas hasil lebih atau kerja lebih dari pihak yang tidak memilikinya yang
terpaksa mengadakan hubungan kerja dengan pemilik-pemilik alat-alat produksi
itu.
Dalam masyarakat perbudakan, pemilik
budak memiliki manusia lain sedangkan budak-budak tidak memiliki apa-apa, pun
tidak memiliki jiwa raganya sendiri, sehingga seluruh hasil kerja si budak itu
dirampas, dan hanya sedikit dikembalikan kepadanya sekedar agar supaya jangan
sampai dia lekas mati. Dalam masyarakat feudal, tuan tanah memiliki tanah
sedangkan kaum tani-hamba tidak memiliki apa-apa, sehingga tuan tanah dapat
memaksa kaum tani untuk bekerja ditanahnya dengan menyerahkan semua hasil-lebih
kepada tuan tanah dalam bentuk sewa tanah. Dalam masyarakat kapitalis,
alat-alat produksi dimiliki seluruhnya oleh kaum kapitalis sehingga mereka bisa
memaksa kaum buruh yang tidak memiliki alat-alat produksi apapun untuk bekerja
baginya sehingga kaum kapitalis dapat merampas kerja-lebih yang dihasilkan oleh
kaum buruh itu. Pada tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif dewasa ini
manusia yang bekerja selalu dapat menghasilkan sesuatu yang nilainya melebihi
nilai daripada tenaga kerja manusia itu sendiri. Bagian yang melebihi nilai
tenaga kerjanya sendiri berbentuk kerja-lebih atau hasil-lebih yang oleh Marx
dinamakan nilai-lebih (surplus value, mehrwert ), dan inilah yang
dirampas oleh mereka yang memiliki alat- alat produksi.
Jadi hakekat daripada penghisapan
atas manusia ialah bahwa satu pihak memiliki alat-alat produksi sedangkan pihak
lain tidak. Hakekatnya ialah kepemilikan perseorangan atas alat-alat produksi.
Hanya masyarakat di mana sudah tidak terdapat lagi pemilikan perseorangan atas
alat-alat produksi, artinya di mana alat-alat produksi dimiliki oleh masyarakat
seluruhnya, oleh negara, dimana alat-alat produksi menjadi milik Rakyat
pekerja, bisa bebas dari penghisapan atas manusia oleh manusia. Jika alat-alat
produksi dimiliki oleh masyarakat (pemilikan sosial), maka hasil lebih atau
kerja lebih akan dipergunakan oleh masyarakat itu sendiri dan sebagian akan
dibagikan kembali melalui distribusi pendapatan nasional sedangkan bagian
selebihnya dipergunakan untuk memperluas tingkat produksi agar bisa mencapai
kesejahteraan materil dan spiritual yang lebih tinggi di kemudian hari. Hanya
dalam masyarakat tanpa pemilikan perseorangan terhadapa alat-alat produksi
dapat dicapai distribusi pendapatan nasional yang adil, artinya tanpa
rampasan nilai lebih, tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia. Inilah
hubungan mutlak antara masyarakat adil dengan masyarakat tanpa penghisapan atas
manusia oleh manusia. Jika masih terdapat pemilikan perseorangan atas alat-alat
produksi, maka akan terdapat pula penghisapan atas manusia oleh manusia.
Tentu, kalau saya bicara tentang
pemilikan perseorangan saya selalu tekankan bahwa yang dimaksud ialah
kepemilikan atas alat-alat produksi. Pemilikan barang-barang pribadi,yang
dipergunakan untuk konsumsi sendiri, dengan sendirinya tidak membuka kemungkinan
untuk adanya penghisapan : jadi pemilikan perseorangan terhadapa barang barang
yang demikan tidak berlawanan dengan prinsip “tanpa penghisapan” itu.
UNTUK MENGERTI SOSIALISME PELAJARI
MARXISME
Baru beberapa hari yang lalu, yaitu
pada tanggal 9 Juli, 1963, Presiden Sukarno, ketika bicara di muka para
mahasiswa Universitas Indonesia, menekankan bahwa jika kita mau membangun
Sosialisme, kita harus membaca “Das Kapital” nya Karl Marx dan paling sedikit “
Manifesto Komunis” karyanya Marx dan Engels. Saran Bung Karno sungguh tepat
sekali, sebab di dalam buku-buku itulah akan dapat kita mengetahui apa yang
sebenarnya dimaksudkan dengan masyarakat sosialis. Ulasan saya di atas ialah
justru ajaran Karl Marx didalam buku-buku yang disebut oleh Bung Karno itu.
Memang benar, kalau kita bertujuan
membangun Sosialisme, kita harus mempelajari Marxisme. Kalau yang mau dibangun
ialah kapitalisme, maka yang harus dipelajari dan diamalkan bukan Marxisme,
tetapi ajaran Alfred Marshall, Lord Keynes dan lain lain ahli ahli ekonomi
semacam itu. Tetapi tujuan kita bukanlah kapitalisme melainkan Sosialisme dan
seperti baru baru ini dikatakan oleh Menteri Luar Negeri, Dr. Subandrio, tak
mungkin kita sekaligus antikapitalisme dan anti Marxisme, sebab secara obyektif
anti Marxisme berarti membantu kapitalisme sedangkan Marxisme berarti menolak
dan mengalahkan kapitalisme dan membangun Sosialisme.
Sebelum saya mengakhiri bagian
pertama dari ceramah ini, saya ingin mengupas secara singkat beberapa hal yang
berhubungan dengan masalah negara. Hal ini saya anggap penting karena Angkatan
Laut R.I., bersama-sama dengan Angkatan Bersenjata lainnya, adalah salah satu
dari alat-alat negara, dan bahkan sering dikatakan alat revolusi, Alat-alat
negara harus mengerti politik karena alat-alat negara, seperti kita semua,
harus dipimpin oleh politik. Tapi tidak hanya itu. Alat-alat negara harus pula
mengerti tentang negara karena mereka merupakan sebagian daripada negara.
KEKUASAAN
NEGARA HARUS SEPENUHNYA DI TANGAN KAUM REVOLUSIONER
Negara adalah alat daripada golongan
yang berkuasa di dalam masyarakat untuk melakukan kekuasaannya itu. Jadi,
negara adalah alat kelas. Seperti telah saya jelaskan, revolusi ditujukan untuk
mengubah hubungan hubungan produksi, yaitu untuk mengubah susunan masyarakat. Jika
kelas atau kelas-kelas (dalam hal negeri kita, seluruh Rakyat yang
anti-imperialis) yang sedang berevolusi berhasil memegang kekuasaaan itu, maka
negara akan dapat mengabdi sepenuhnya kepada revolusi itu. Hanya jika kekuasaan
negara berada didalam tangan kaum revolusioner, baru kita dapat berkata tentang
negara sebagai alat revolusi. Tetapi jika negara masih dikuasai oleh
kelas-kelas yang menentang revolusi, oleh kaum reaksioner, maka negara
menghambat revolusi atau menjadi alat kontra revolusi
Seperti kita sama-sama mengetahui,
negara Republik Indonesia lahir dalam perjuangan revolusioner, jadi seharusnya
mengabdi kepada revolusi. Tetapi seperti kita sama-sama mengetahui, revolusi
Indonesia belum selesai walaupun sudah hampir 18 tahun sejak Proklamasi Negara
Republik Indonesia. Pengalam pengalaman kita memang menunjukan bahwa negara
kita tidak selalu atau tidak seluruhnya mengabdi kepada revolusi. Seandainya ia
selalu atau seluruhnya mengabdi kepada revolusi, sudah tentu revolusi kita
sudah lama selesai.
Tetapi sebaliknya, negara kita itu
juga tidak selalu atau seluruhnya menghambat revolusi. Sama sekali tidak. Jadi,
ada dua segi dalam kekuatan negara Republik kita, yaitu ada segi pro-Rakyat
tapi ada juga segi anti-Rakyat. Segi pro-Rakyat mendorong dan mengabdi kepada
revolusi sedangkan segi anti-Rakyat menghambat revolusi. Ini berarti bahwa jika
kita mau membikin negara Republik kita sepenuhnya dan selalu mengabdi kepada
revolusi dan memang itulah yang harus menjadi tujuan setiap orang revolusioner,
maka segi anti-Rakyat harus dilenyapkan dan segi pro-Rakyat harus dimenangkan.
Ini berarti, kita harus melenyapkan segi kontra-revolusioner dan memenangkan
segi revolusioner. Tujuan ini harus dicapai antara lain melalui rituling aparat
negara. Dengan demikian rituling adalah salah satu tugas revolusioner, satu
keharusan, sesuatu yang mutlak perlu jika revolusi kita mau diselesaikan.
RITULING
MUTLAK PERLU UNTUK REVOLUSI KOMPLIT
Seperti dikatakan oleh Bung Karno
dalam pidato Jarek (17 Agustus 1960), rituling aparat negara harus ditujukan
kepada “orang orang yang otak dan hatinya telah berdaki berkarat tak dapat
menyesuaikan diri dengan Manipol-Usdek. Sungguh alat-alat yang lama itu harus
kita ritual”, (Tubapi, hal 211). Artinya rituling harus ditunjukan kepada orang-orang
yang tak dapat menyesuaikan diri dengan revolusi kita, Rituling yang demikian,
kata Bung Karno dalam Jarek, adalah bagian dari “ Revolusi Komplit yang kita
lakukan, yaitu Revolusi penuh dari atas dan dari bawah“, Jadi, tanpa rituling
aparat negara, Revolusi Indonesia tidak bisa komplit.
Dan apa yang dimaksudkan oleh Bung
Karno dengan “ revolusi dari atas dan dari bawah”? Saya kutip lagi dari pidato
Jarek itu, sbb:” dari atas, dengan adanya rituling terhadap aparat dan sistim;
dari bawah, karena rituling aparat negara dan sistim itu dilakukan sesuai
dengan desakan Rakyat dan didukung pula oleh Rakyat. ( Tubapi, hal 241).
Desakan Rakyat Indonesia pada saat
ini agar kegotongroyongan nasional yang berporoskan NASAKOM dicapai di semua
bidang, termasuk pula di bidang eksekutif, ialah desakan yang sepenuhnya sesuai
dengan apa yang dinamakan oleh Bung Karno sebagai rituling yang merupakan
bagian mutlak daripada Revolusi Komplit kita.
Demikianlah, beberapa hal yang ingin
saya sampaikan pada kesempatan ini mengenai politik. Saya sengaja membahas
masalah ini agak panjang dan member perhatian kepada hal-hal yang bisa
dikatakan sangat pokok, hal yang bahkan bersifat elementer dalam kenyataan
sering tidak dimengerti atau pura-pura tidak dimengerti, pun oleh orang-orang
yang membanggakan dirinya sebagai seorang politikus yang hebat, sehingga
akibatnya semua hal yang bersangkutan dengan revolusi menjadi kabur dan
meleset. Tidak salah kiranya kalau dari waktu ke waktu kita kembali kepada
soal-soal yang elementer itu untuk membikin segar kembali pengertian kita
tentang revolusi
kita.
II. BEBERAPA SOAL TENTANG PETAHANAN
Jika hal hal mengenai politik sudah jelas, tidak akan sulit kiranya untuk
mengadakan pembahasan tentang masalah pertahanan. Sama halnya seperti di
bidang-bidang lain, juga di bidang pertahanan politik memegang peranan memimpin
politik adalah jenderal. Kita harus dipimpin oleh politik. Untuk kita di
Indonesia, ini berarti bahwa pertahanan nasional kita harus dipimpin oleh
Manifesto Politik karena itulah politik kita politik revolusi kita. Pertahanan
yang dijalankan oleh Angkatan bersenjata republik Indonesia mempunyai tugas
pokok untuk menyelamatkan dan memenangkan Revolusi. Oleh karena itu, Angkatan
Bersenjata RI harus di atas segala-galanya berdiri di pihak Rakyat. Angkatan
Bersenjata RI harus konsekwen anti-imperialis dan anti-feodal. Pertahanan
nasional RI harus konsekwen anti imperialis dan anti feodal.
DWITUNGGAL
ANGKATAN BERSENJATA DAN RAKYAT UNTUK REVOLUSI
Sudah sejak lama kaum Komunis Indonesia menyerukan dan menjungjung tinggi
semboyan : Dwitunggal Angkatan Bersenjata dan Rakyat. Hal ini menggambarkan
hakekat daripada hubungan pertahanan dengan politik. Gagasan dwitunggal ini
bisa dijelaskan pula sebagai hubungan antara ikan dengan air. Airnya adalah
Rakyat. Sudah jelas, ikan tak mungkin hidup di luar air. Tetapi juga di dalam
air, jika airnya beracun, ikan tidak bisa hidup. Bagi Angkatan Bersenjata
Rakyat yang terpecah-belah adalah bagaikan air beracun bagi ikan. Oleh karena
itu semboyan Dwitunggal Angkatan Bersenjata dan Rakyat hanya bisa menjadi
realitas jika semua pihak tanpa perkecualian menjaga air itu supaya bersih,
bersih dari segala macam racun yang berupa Komunis-phobi, massa-phobi dll.
Semboyan Dwitunggal Angkatan
Bersenjata dan Rakyat sebenarnya sudah lama menjadi semboyan itu tidak
terlalu diberi pengertian yang tegas dan benar. Ada orang yang mengira
bahwa Dwitunggal angkatan Bersenjata dan Rakyat atau hubungan ikan dengan air
bisa diwujudkan jika Angkatan Bersenjata “ hidup ditengah-tengah Rakyat”, Hal
ini sudah tentu sangat penting, sebab Angkatan Bersenjata yang menjadi bagian
daripada revolusi rakyat benar-benar harus menjadi bagian tak terpisahkan dari
rakyat itu. Tetapi jangan kita membatasi hubungan dwitunggal ini kepada sekedar
“hidup ditengah-tengah Rakyat”. Maksudnya jauh lebih mendalam lagi yaitu
Angkatan Bersenjata harus terdiri dari Rakyat, mengabdi kepda Rakyat dan
berjuang untuk Rakyat. Ini tak lain berarti bahwa Angkatan Bersenjata harus mengabdi
kepada revolusi dan berjuang untuk revolusi artinya tunduk kepada strategi umum
Revolusi Indonesia.
Mengenai Hal ini presiden Sukarno
berkata sbb. Dalam pidati Re-so-pim :” Mereka (artinya Angkatan Bersenjata.
DNA) adalah alat Revolusi, mereka adalah Angkatan Bersenjatanya Revolusi.
Mereka Harus setia kepada sumbernya, yaitu Revolusi. Yaitu Rakyat. Mereka harus
mengabdi kepada Rakyat, mendahulukan kepentingan Rakyat daripada kepentingan
lain-lain. Mereka tak boleh melukai perasaan Rakyat. Mereka harus menjadi
Angkatan Bersenjata yang disukai dan dicintai Rakyat… Bedil di tangan Angkatan
Bersenjata harus ibarat bedil di tangan Rakyat, untuk melindungi hak-hak Rakyat
dan untuk mempertahankan Negaranya Ranyat dan Revolusinya Rakyat. Dalam
Revolusi kita sekarang ini, dan seterusnya, tidak boleh ada pertentangan atau
kontradiksi antara Angkatan Bersenjata dan Rakyat!” (Re-so-pim, hal 37-38)
Jadi, ini semua bukan sekedar suatu
hubungan yang harus diadakan di antara Angkatan Bersenjata dengan Rakyat. Ini
harus menjadi doktrin Angkatan Bersenjata yang menjiwai seluruh aparat
pertahanan kita.
Angkatan laut kita yang sudah
memainkan peranan yang vital dalam perjuangan untuk menumpas pemberontak
PRRI-Permesta dan yang telah secara berani mengambil bagian dalam perjuangan
untuk membebaskan Irian Barat dari penjajahan Belanda, telah secara nyata
mengabdi kepada Rakyat dan berjuang untuk Rakyat. Prajurit prajurit ALRI tak
lain tak bukan adalah anak-anak Rakyat, terutama kaum buruh, kaum tani, kaum
miskin kota, dsb. Bintara-bintara dan perwira perwira ALRI juga pada umumnnya
berasal dari Rakyat.
Pengertian tentan doktrin Angkatan
Bersenjata seperti saya kemukakan di atas sudah saya ajukan pula beberapa
minggu yang lalu ketika saya berbicara di muka Sekolah Staf dan Komando
Angkatan Darat (SESKOAD). Memang, menurut pendapat saya, soal doktrin ini
adalah sama untuk semua Angkatan Bersenjata kita. Hanya jika semua Angkatan
Bersenjata dijiwai oleh satu doktrin dapat kita berbicara tentang adanya satu
doktrin pertahanan nasional, tentang adanya pertahanan nasional yang mengabdi
kepada revolusi. Ini merupakan satu satunya dasar yang kokoh untuk mencapai
kesatuan dan koordinasi yang efektif dan stabil antara keempat Angkatan
Bersenjata kita.
Karena letak dan susunan geografisnya,
Indonesia memerlukan pertahanan baik di darat, di laut maupun di udara.
Kesatuan dan koordinasi yang efektif dan sikap hormat-menghormati antara
keempat Angkatan Bersenjata, merupakan hal yang sungguh menentukan sekali. Tak
dapat dibenarkan jika terhadap salah satu Angkatan diberikan kedudukan lebih
tinggi dan lebih rendah.
YANG
PRIMER POLITIK BUKAN GEOGRAFI
Sistim pertahan nasional negeri
kita, seperti hanya untuk setiap negeri, sudah dengan sendirinya tidak bisa
dilepaskan dari letak dan susunan geografis negeri kita. Hal-hal itu mempunyai
konsekwensi-konsekuensi yang penting bagi struktur pertahanan nasional, Negeri
kita terletak di persimpangan jalan antara dua samudera, dan seakan-akan
menjadi batu loncatan antara daratan Asia dengan Australia. Tapi hal letak ini
buka hanya masalah ilmu bumi melainkan pula masalah politik karena kita ketahui
negara-negara tetangga kita yang paling dekat atau negeri-negeri yang menguasai
lautan yang mengelilingi kita adalah negara-negara yang terikat langsung atau tidak,
dengan SEATO, itu pakta agresif imperialis yang didirikan oleh kaum imperialis
AS. Karena ini, Indonesia selamanya menghadapai tekanan-tekanan yang sangat
kuat untuk mengubah politik luar-negerinya yang tegas anti-imperialis dan untuk
menggabungkan diri dengan SEATO.
Susunan geografis negeri kita
sebagai negeri kepulauan yang sangat luas juga mempunyai arti yang besar karena
mengharuskan kita untuk memberikan tekanan yang istimewa pada kebutuhan
memelihara dan memperkuat hubungan-hubungan, baik di laut maupun di udara,
antara pulau-pulau seluruh tanah air. Tapi hal bentuk dan luas inipun bukan
hanya masalah ilmu bumi, melainkan pula masalah politik, karena kaum reaksi dan
kontra revolusi selalu mempergunakan fakta ini untuk maksud-maksud jahat mereka
dalam menggerowoti kesatuan negeri kita.
Pandangan yang saya kemukakan ini
hendaknya jangan disamakan dengan pandangan geo-politik yang terkutuk itu.
Letak dan bentuk geografis negeri kita harus diperhatikan dan dipergunakan
dengan sebaik-baiknya dengan tujuan pokok untuk mengabdi kepada revolusi. Jadi
yang pertama-tama adalah revolusi, bukan geografis. Pandangan geopolitik
sebaliknya mendasarkan segala sesuatu kepada letak dan susunan geografis
sesuatu negeri. Pada azasnya, pandangan geopolitik yaitu penggunaan ilmu bumi
untuk menentukan strategi dan politik, bertujuan membenarkan expansi bagi
negara-negara imperialis dan sebaliknya bagi negara-negara yang menjadi obyek
ekspansi imperialis itu geopolitik bertujuan membenarkan kapitulasi atau
politik menyerah kepada ekspansi imperialis itu. Karena itu geopolitik
sepenuhnya merupakan pandangan yang mengabdi kepada imperialisme.
Salahsatu eksponen utama pandangan
geopolitik ini ialah Sir Halford John Mackinder (1861-1947) seorang ahli ilmu
bumi Inggris. Menurut teori Mackinder siapa yang berhasil menguasai apa yang
dia namakan “bulan sabit luar” (outer crescent) yaitu
kepulauan-kepulauan yang berdekatan dengan pantai daratan luas Eropa-asia (
Inggris sendiri, Lautan Tengah, Kepulauan- Kepulauan di lautan Hindia, Kepulauan
Indonesia, Filipina sampai Jepang), dari juga dapat menguasai apa yang
dinamakan ”bulan sabit dalam“ (inner crescent), yaitu negara-negara yang
terletak di tepi daratan luas AsiaEropa itu (termasuk Eropa,TimurTengah,India
dan Tiongkok) akan berhasil pula menguasai apa yang dia namakan “daerah poros”,
“ daerah jantung” atau “ heart land” yaitu Rusia (sekarang Uni soviet),
dan akan juga berhasil menguasai seluruh dunia.
Pandangan geopolitik juga
diperkembangkan oleh seorang militeris Jerman. Karl Haushofer (1869-1946)
seorang inspirator utama politik expansionisme kaum fasis Jerman. Berdasarkan
suatu pembagian dunia yang secara sewenang-wenang dia mendesak supaya
dunia ditempatkan di bawah kekuasaan Jerman dan Jepang.
Kaum militeris Amerika Serikat juga
sangat sibuk memperkembangkan pandangan geopolitik, misalnya Nichols Spykman,
yang justru banyak mempergunakan teori Mackinder untuk mengilhami politik
agresi imperialis Amerika Serikat guna mengepung Uni Sovyet, nergeri Sosialis
pertama di dunia, dengan pangkalan-pangkalan perang dan guna berusaha
menghancurkan negeri Sosialis itu.
PANDANGAN
GEOPOLITIK BERTENTANGAN DENGAN PANDANGAN REVOLUSIONER
Indonesia harus mempunyai strategi
dan politik yang tegas didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan revolusi kita.
Pandangan pandangan geopolitik samasekali tidak boleh diberi tempat dalam
rangka teori pertahanan nasional negeri kita, ataupun dalam menentukan politik
luar negeri kita. Kontradiksi yang sangat tajam antara pandangan geopolitik
dengan pandangan revolusioner terhadap doktrin pertahanan dapat dirasakan
dengan jelas sekali jika kita membaca buku Jenderal Mayor Simatupang, Pelopor
Dalam Perang Pelopor Dalam Damai. Jenderal Mayor ini jelas menjadikan dirinya
seorang exponent geopolitik dengan mengatakan:” pengaruh faktor ilmu bumi dalam
politik suatu negara pada pokoknya adalah lebih kuat daripada factor
ideology”, (hal 132). Lebih kuat dari factor ideology tidak bisa
lain juga berarti lebih kuat dari faktor politik. Geopolitik bisa sangat
membahayakan negara dan revolusi kita karena, berdasarkan pandangan yang
demikian, ada saja orang-orang yang berusaha menjiwai politik nasional dan
internasional kita dengan sikap menyerah, sikap takut, sikap yang melihat semua
perkembangan politik kekuasaan dan oleh karenanya akan menempatkan kita hanya
pada satu kemungkinan, yaitu menyesuaikan diri dengan perebutan kekuasaan
(“perang dingin”) ini. Dapat kita membaca, misalnya, di dalam bukunya Jenderal
Mayor Simatupang itu, bahwa “ dunia masih tetap dikuasai oleh politik kekuasaan,
oleh ketakutan utnuk dikepung dan diserang, sehingga semuanya merasa dirinya
terpaksa mengadakan persekutuan yang harus mengimbangi bahaya serangan yang
dikhawatirkan”. (hal 143). Dari sini jelas sekali bahwa negeri yang menjadi
obyek politik ekspansi, seperti Indonesia, geopolitik dipergunakan untuk
menimbulkan rasa takut,rasa menyerah, dan lebih dari itu, untuk membenarkan
persekutuan persekutuan atau blok-blok militer yang agresif dan bahkan guna
membenarkan supaya Indonesia ikut di dalam suatu blok itu.
Secara praktis, sikap ini tentu
membawa mereka yang bersikap demikian kepada kesimpulan-kesimpulan tentang
politik luar dan dalam negeri yang sangat bertentangan dengan politik kita
berdasarkan haluan negara kita, Manifesto Politik. Pandangan geopolitik
Jenderal Mayor Simatupang membawanya kepada kesimpulan kesimpulan tentang
politik luar negeri kita sbb,:
“Apa yang dapat kita jalankan ialah
berusaha agar di antara negara-negara di daratan Asia dan kita sendiri selalu
terdapat persahabatan dan agar suasana dalam hubungan negara-negara di daratan
Asia itu dengan kita dan di antara mereka jangan sampai diliputi oleh semangat
politik kekuasaan, melainkan oleh semangat saling hormat menghormati terhadap
kedaulatan masing-masing” (hal149). Politik yang demikian sama sekali
memisahkan politik luar negeri kita dari tujuan Revolusi Indonesia. Dasar-dasar
politik luar negeri Republik Indonesia sudah terang anti imperialisme, anti
neo-kolonialisme dan pro-perdamaian, atau menurut kerangka ketiga Manipol: “persahabatan
baik antara Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali
dengan negara-negara Asia Afrika, atas dasar hormat menghormati dan atas dasar
bekerja sama membentuk satu Dunia Baru yang bersih dari imperialisme dan
kolonialisme, menuju kepada Perdamaian Dunia yang sempurna”. (Tubapi, hal,81).
PANDANGAN
GEOPOLITIK MENGEBIRI POLITIK LUARNEGERI KITA YANG ANTI IMPERIALIS
Pandangan geopolitik mengebiri
politik luar negeri kita karena meniadakan cirri anti imperialisnya yang
merupakan ciri terpokok. Soal menjadi tetangga, demikian pula soal persamaan
rasa tau berasal dari satu rumpun bangsa tidak bisa dipergunakan sebagai dasar
bukti bagi politik luar negeri kita. Hendaknya hal ini diperhatikan benar dalam
menghadapi usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk mencapai kerjasama yang
berbentuk suatu konfederasi yang dinamakan Maphilindo. Sudah jelas bahayanya
ialah bahwa dasar ‘ tetangga’, ‘satu ras’ atau “berasal dari satu rumpun
bangsa” berarti mengebiri politik konfrontasi kita terhadap komplotan agresif
kaum imperialis dengan kaum reaksioner Malaya yang Neo-kolonialis. Ia juga
berarti mengebiri politik dukungan penuh “as a matter of principle”
terhadap perjuangan kemerdekaan Rakyat Kalimantan Utara yang telah menyatakan
hak menentukan nasib sendiri dengan memproklamasikan Negara Kesatuan Kalimantan
Utara pada tanggal 8 Desember 1962. Penegasan kembali oleh Bung Karno beberapa
hari yang lalu di dalam resepsi penutupan Kongres Partai Katolik dan kemudian
di hadapan para perwira SESKOAD tentang politik kontfrontasi Indonesia terhadap
pembentukan Malaysia secara logis berarti bahwa sudah lebih tidak ada dasar
untuk melanjutkan KTT Tiga Negara yang direncanakan di Manila tanggal 30 Juli
nanti.
Bahwasanya pandangan geopolitik
mengakibatkan politik menyerah kepada agresi imperialis dapat pula kita lihat
dari kesimpulan berikutnya yang ditarik oleh Jen-Mayor Simatupang dalam bukunya
yang telah saya kutip di atas, di mana dia menulis selanjutnya bahwa “sebagai
negara maritim harus juga kita usahakan hubungan persahabatan dengan
negara-negara yang menguasai lautan sekitar negeri kita”. (hal 149). Kesimpulan
ini sungguh suatu kesimpulan yang menimbulkan kemarahan dalam hati tiap-tiap
patriot Indonesia. Siapa negara-negara yang menguasai lautan di sekitar negeri kita
kalau bukan negara-negara SEATO? Politik macam apa ini yang menetapkan bahwa
kita harus bersahabat dengan negara-negara SEATO, dengan alasan bahwa mereka
mengelilingi negeri kita? Tak lain, ini politik kapitulasi. Padahal justru
karena negara-negara SEATO mengelilingi kita, kita harus menganggap mereka
sebagai musuh yang berbahaya. Bukankah sikap kapitulasi ini suatu tantangan
tegas terhadap sikap rakyat Indonesia yang sudah sejak dahulu menolak untuk
mengadakan persahabatan dengan SEATO, yang menolak dengan tegas untuk diseret
ke dalam blok SEATO yang imperialis dan agresif itu?
KONSEPSI
MARITIM KITA HARUS TEGAS REVOLUSIONER ANTI IMPERIALIS
Kesimpulan Simatupang ini merupakan
persoalan penting, terutama bagi Angkatan Laut kita karena justru menyangkut kedudukan
negeri kita sebagai “negeri Maritim”. Apakah karena Indonesia adalah negeri
maritim, maka ia harus bersahabat dengan SEATO? Apakah karena Indonesia adalah
negara maritim, maka ALRI kita yang anti-imperialis harus mengadakan latihan
latihan perang dengan angkatan laut negara-negara SEATO yang imperialis?
Mari kita secara singkat membahas
soal kedudukan negeri kita sebagai negeri maritim. Apa sebenarnya yang
dimaksudkan dengan sebutan itu? Bagaimana menginterpretasikan pandangan yang
demikian dalam rangka doktrin pertahanan nasional yang harus tunduk kepada
strategi umum Revolusi Indonesia? Bagaimana seharusnya konsepsi maritime yang
revolusioner?
Memang benar Indonesia adalah negara
maritim dan harus menjadi negeri maritim yang kuat. Tradisi ini sudah tertanam
sejak berabad-abad yang lalu dengan kepahlawanan Rakyat Indonesia di lautan
luas, jauh sebelum kedatangan kaum kolonialis Belanda. Pelaut-pelaut kita dapat
membanggakan tradisi nenek moyang kita yang mencapai prestasi yang tinggi dalam
memelihara hubungan hubungan laut dengan mengarungi samudera samudera. Dapat
kita ketahui pula bahwa zaman-zaman kejayaan dalam sejarah negeri kita justru
terjadi pada waktu kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Majapahit yang keduanya
mempunyai kekuatan di laut dan dapat memelihara hubungan antar pulau yang baik.
Tapi perlu diperhatikan pula bahwa keruntuhan kerajaan Sriwijaya yang akhirnya
merosot menjadi terror bajak laut disebabkan karena kekuatan di laut tidak
disertai perkembangan hubungan hubungan di daratan.
Sebaliknya, Kaum imperialis Belanda
dulu dapat menundukkan negeri kita karena mereka berhasil mematahkan kekuatan
kita di laut dan mendesak kerajaan Mataram yang tidak mempunyai kekuatan
dilaut.
KONSEPSI MARITIM IMPERIALIS TIDAK
COCOK BUAT INDONESIA
Letak dan susunan geografis negeri
kita mengharuskan kita untuk menjadikan Republik kita sebagai negara Maritim.
Tetapi dalam mengartikan sebutan ini, tidak benar jika kita mencari dasarnya
dalam konsepsi-konsepsi maritime dari negara negara imperialis seperti Inggris,
Amerika dan Jepang.
Konsepsi maritime biasanya
didasarkan kepada teori-teori Alfred Thayer Mahan (1840-1914), seorang Admiral
Amerika yang umumnya dianggap sebagai bapaknya konsepsi konsepsi maritime
modern Inggris dan Amerika. Mahan berusaha membuktikan bahwa kejayaan di laut
mempunyai pengaruh yang bersifat menentukan bagi perkembangan sejarah dan
ide-idenya itu mengilhami pembangunan angkatan-angkatan laut AS dan Inggris di
zaman Imperialime. Konsepsi yang demikian yang memang seluruhnya diabdikan kepada
kepentingan-kepentingan ekspansi imperialis seperti yang terbukti dari
perkembangan perkembangan sejarah sejak permulaan abad ke 20 ini. Sudah tentu
tidak sesuai sama sekali dengan kepentingan-kepentingan kita, di mana konsepsi
negara maritime menjadi bagian integral daripada doktrin pertahanan nasional
yang revolusioner dan anti imperialis. Untuk Indonesia, kita wajib menyusun
konsepsi negara maritim yang sesuai dengan kepentingan-kepentingan revolusi
kita yang anti-imperialis. Yang ditujukan kepada menggunakan kekuasaan di
lautan kita yang sangat luas untuk menyelamatkan Republik kita dari agresi
agresi dari luar serta menghancurkan kegiatan-kegiatan kontra-revolusi dan
subversi dari dalam.
Pertama, konsepsi maritime negara
kita harus ditujukan untuk mempertahankan Negara Kesatuan kita, sesuai dengan
kerangka pertama dari tiga kerangka Manipol. Bukanlah menjadi pengalaman kita
yang pahit bahwa usaha untuk merongrong Negara Kesatuan kita selalu merupakan
tujuan pokok dari kaum kontra revolusi, yaitu dengan gerakan-gerakan separatis,
dengan usaha-usaha untuk menguasai pulau-pulau tertentu, dengan memutuskan
hubungan-hubungan antara Rakyat di satu pulau dengan Rakyat di pulau lain dan
dengan mempertentangkan “ pusat” dengan” daerah daerah” ? Menjaga keutuhan
wilayah merupakan tugas vital dalam menghadapi kaum separatis, seperti telah
dibuktikan oleh pengalaman-pengalaman kita sewaktu pemberontakan PRRI-Permesta.
Untuk itu pula, ALRI harus juga menguasai kemahiran mendaratkan pasukan-pasukan
di wilayah musuh dan menjamin logistik yang terus-menerus.
Tidak kalah penting pula usaha-usaha
ALRI untuk menjaga keselamatan armada niaga kita yang mempunyai tugas penting
dalam memperbaiki keadaan ekonomi dan melancarkan roda-roda perekonomian kita.
Demikian pula lautan-lautan kita harus terus-menerus dijaga agar bersih dari
penyelundupan yang sangat merugikan itu. Tugas-tugas ini semua perlu diberi
tempat dalam konsepsi maritime kita.
Kedua, konsepsi maritime negara kita
harus bertujuan memperkuat politik luarnegeri yang anti-imperialis, yaitu
untuk menjaga perbatasan-perbatasan kita yang sedemikian panjang itu terhadap
serangan fihak imperialis dan dengan tegas menghadapi blok imperialis SEATO
dll, yang mengelilingi negeri kita serta memperkuat hubungan-hubungan dengan
negara-negara the new emergecing forces. Perkembangan-perkembangan pada
waktu akhir ini membuktikan bahwa kaum imperialis yang dikepalai oleh
imperialis AS sedang memperhebat usaha-usahanya untuk membangun serangkaian
pangkalan-pangkalan di sekitar kepulauan Indonesia. Maksud AS mendirikan
pangkalan-pangkalan Angkatan Laut di Australia Barat Daya dan membantu India
mendirikan pangkalan-pangkalan di kepulauan Andaman dan Nikobar harus
diperhatikan benar-benar sebagai ancaman baru terhadap kemerdekaan nasional
kita, sebagai usaha untuk “ mengepung” gerakan kemerdekaan nasional di Asia
Tenggara.
Politik luar negeri Republik
Indonesia yang anti-imperialis mendapat perwujudannya dalam gagasan the new
emerging forces yang teah diperkembangkan, terutama sejak pidato yang
diucapkan oleh Bung Karno di dalam Konferensi Negara negara Non-Aligned
dalam tahun 1961. Konfrontasi antara the new emerging forces (NEF) yang
terdiri dari negara-negara sosialis, negara-negara baru merdeka yang
anti-imperialis dan kekuatan-kekuatan progresif lainya di seluruh dunia, dengan
the old established forces (OEF) yang terdiri dari negara-negara
imperialis, negara-negara kolonialis, agen-agen mereka dimanapun juga serta
kekuatan-kekuatan reaksioner lainnya di seluruh dunia sungguh merupakan suatu
tantangan yang tegas terhadap pandagan geopolitik. Geopolitik bertujuan
mengabdi kepada politik ekspansi di satu fihak dan untuk mengabdi kepada
politik kapitulasi (menyerah) di fihak lain. Politik konfrontasi antara the
new emerging forces dan the old established forces bertujuan
menghimpun semua kekuatan-kekuatan anti-imperialis untuk menggagalkan agresi
dan intervensi imperialis, untuk menyokong perjuangan kemerdekaan, untuk
membela kemerdekaan nasional untuk memperkuat negeri negeri sosialis dan untuk
mencapai perdamaian dunia.
PERTAHANAN RAKYAT, BUKAN
"TERRITORIAL WAR"
Setelah memberikan uraian yang
menyeluruh yang menyeluruh tentang beberapa hal yang berhubungan dengan teori
pertahanan nasional, saya ingin dalam bagian terakhir ini, menyoroti prinsip-prinsip
pokok pertahanan nasional kita seperti telah ditetapkan dalam ketetapan MPRS
No. II?1960 serta lampiran lampirannya Ketetapan MPRS, pasal 4, ayat 4 dan 5
berbunyi sbb:
“Politik keamanan/pertahanan
Republik Indonesia berlandaskan Manifesto Politik Republik Indonesia beserta
perinciannya dan berpangkal kepada kekuatan Rakyat dengan bertujuan menjamin
keamanan/pertahanan nasional serta turut mengusahakan terselenggaranya
perdamaian dunia”
“Pertahanan Negara Republik
Indonesia bersifat defensive-aktif dan bersikap anti-Kolonialisme dan
anti-imperialism dan berdasarkan pertahanan Rakyat semesta yang berintikan
tentara sukarela dan milisi”
Bab III, ayat (41) dari Lampiran A
daripada Ketetapan MPRS tersebut yang mempunyai kekuatan sebagai
penyempurnaan terhadapa Garis garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana karya Depernas berbunyi sbb:
“Sebagai konsekwensi daripada bentuk
dan sifat keamanan/pertahanan RI itu, maka Angkatan Perang Republik Indonesia
turut serta menyelesaikan tuntutan tuntutan revolusi Nasional, dalam bidangnya
masing-masing”.
Selain menetapkan hubungan yang
tegas antara sifat dan sikap pertahanan nasional kita dengan dasar-dasar
Revolusi serta pokok-pokok politik luar negeri kita yang telah dijelaskan
secara lebih terperinci di atas, ketentuan-ketentuan MPRS ini member tekanan
yang kuat kepada keharusan supaya politik keamanan pertahanan negeri kita
berpangkal kepada kekuatan Rakyat serta berdasarkan pertahanan
Rakyat semesta. Tekanan-tekanan itu sepenuhnya sesuai dengan tradisi perjuangan
bersenjata negara serta Rakyat kita selama tahun 1945 sampai 1948.
Prinsip-prinsip ini berarti bahwa
Angkatan Bersenjata kita dibangun untuk dapat pada setiap waktu
menyelenggarakan perang bersama-sama dengan Rakyat yaitu pada hakekatnya
menyelenggarakan perang Rakyat. Ada teoritikus-teoritikus militer yang
menganggap bahwa “perang Rakyat berpokok kepada kelemahan dari suatu
negara” (lihat bukunya Jenderal Mayor Simatupang, hal 173) yaitu mencerminkan
keterbelakangan suatu masyarakat agraris yang tidak mempunyai
angkatan-angkatan bersenjata modern. Pandangan ini didasarkan pada
tulisan-tulisan Karl von Clausewitz (1780-1831), seorang jenderal Prusia, yang
mencerminkan kepanikan kaum junker Prusia terhadap
pemberontakan-pemberontakan kaum tani melawan feodalisme di zaman revolusi
borjuis. Menurut pandangan yang diajukan oleh Simatupang itu, jika Angkatan
Bersenjata telah dapat dibangun secara modern di lapangan ilmu pengetahuan,
tehnik dan perindustrian, maka perang Rakyat menjadi hal yang tidak diperlukan
lagi. Bahkan dia sependirian dengan Liddell Hart, penulis militer Inggris yang
sangat menyesali perkembangan-perkembangan perang gerilya di negeri-negeri
Eropa Timur karena telah menjadi dasar kokoh bagi berdirinya negara-negara sosialis
disana, yang berpendapat bahwa perang Rakyat harus dielakkan karena “
meninggalkan akibat-akibat yang berat” (Simatupang hal 176).
Pandangan ini, yaitu yang
mempertentangkan dasar-dasar kerakyatan daripada sistim pertahanan nasional
kita dengan usaha-usaha untuk membangun Angkatan Bersenjata yang modern, tidak
dibenarkan oleh Ketetapan MPRS yang baru saya kutip. Pandangan keliru ini
didasarkan pada teori pertahanan yang diperkembang di Yugoslavia, terutama oleh
seorang Jenderal Yugoslavia, Kveder di dalam tulisannya yang berjudul
“Territorial War” dan yang dimuat di dalam majalah Yugoslavia Foreign
Affairs, bulan Oktober, 1953. Di dalam tulisan itu, diusahakan untuk
menggantikan tradisi-tradisi perlawanan Rakyat Yugoslavia (gerilya atau
partisan), di mana Rakyat mengangkat senjata untuk bertempur melawan musuh,
dengan suatu sistim pertahanan yang berdasarkan kekuatan bersenjata modern di
mana kekuatan-kekuatan Rakyat hanya diberi peranan sekunder dalam keadaan di
mana angkatan darat terpaksa mundur dan menjalankan perlawanan di wilayah luas
secara terpencar-pencar. Dalam sistem demikian, selanjutnya prinsip bahwa semua
Angkatan Bersenjata memegang peranan yang sama penting juga dilanggar karena
Angkatan Laut dan Angkatan Udara hanya dapat memegang peranan yang bersifat
membantu.
Pembangunan Angkatan Bersenjata RI
dengan peralatan yang serba modern seperti telah terjadi selama beberapa tahun
ini sangat dibanggakan oleh seluruh Rakyat Indonesia sebab dengan demikian
kemungkinan menyelamatkan dan memenangkan revolusi kita sesuai dengan kehendak
Rakyat menjadi lebih pasti lagi. Dengan Angkatan Bersenjata yang modern dan
dengan sistim pertahanan nasional yang “ berpangkal kepada kekuatan Rakyat… dan
berdasarkan pertahanan Rakyat”, seperti dicantumkan dalam Ketetapan MPRS, tidak
ada kekuatan di dunia yang akan bisa melawan arus Revolusi Indonesia dan
Menghancurkan Republik kita.
JANGAN CAMPURI BIDANG YANG BUKAN
BIDANGNYA
Lampiran A daripada Ketetapan MPRS
yang telah saya kutip di atas juga menetapkan suatu prinsip yang amat penting,
yaitu tentang kedudukan Angkatan Bersenjata di dalam masyarakat di mana
dikatakan bahwa “ Angkatan Perang RI turut serta menyelesaikan tuntutan
tuntutan revolusi Nasional dalam bidangnya masing masing”. Kalau kita mau
berbicara tentang kedudukan Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan
Angkatan Kepolisian Negara sebagai karyawan, maka sudah jelas setiap Angkatan
itu sudah semestinya diberikan tempat di berbagai lembaga negara, sampai kepada
lembaga-lembaga tertinggi, di bidang legislative maupun eksekutif. Di
lembaga-lembaga itu, mereka mewakili bidang mereka masing-masing karena
bidang-bidang itu memainkan peranan yang vital bagi penyelesaian Revolusi kita
dan sudah barang tentu ini akan memperkuat hubungan-hubungan di antara bidang-bidang
itu. Prinsip supaya masing-masing turut serta dala pekerjaan yang luhur ini
secara “gotong royong” harus menjadi ciri daripada usaha seluruh masyarakat
Indonesia. Sesuai dengan ini, perlu dihindari usaha usaha untuk mencampuri
bidang-bidang lain yang bukan bidangnya Angkatan Bersenjata, karena ini
dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan yang merugikan bagi
kepentingan-kepentingan nasional kita semua. Maupun bagi nama baik tiap
Angkatan Bersenjata kita. Usaha-usaha yang demikian dapat merusak dwitunggal
antara Angkatan Bersenjata dan Rakyat.
III. KESIMPULAN-KESIMPULAN
Sebagai akhir kata, ada baiknya
kiranya kalau saya secara singkat berusaha menyimpulkan pokok-pokok yang telah
saya kemukakan dalam ceramah ini.
Pertama. Angkatan Laut RI seperti
halnya setiap Angkatan Bersenjata, harus mengabdikan diri kepada revolusi
Indonesia, sesuai dengan tradisi-tradisi kepahlawanan pelaut-pelaut kita, baik
di zaman penjajahan Belanda dengan pemberontakan di atas kapal “Zeven
Provincien” maupun di zaman perjuangan membela republik kita, sampai kepada
perjuangan untuk membebaskan Irian Barat. Untuk tugas ini, maka politik
revolusioner harus difahami secara mendalam, karena ALRI bersama-sama dengan
angkatan angkatan lainnya harus dipimpin oleh politik revolusioner itu,
dipimpin oleh Manipol.
Kedua, ALRI seperti halnya semua
Angkatan Bersenjata RI, adalah alat pembela dan penyelamat Revolusi, dan harus
membela Rakyat, bersatu dengan Rakyat, dan sependirian dengan Rakyat tak lain
karena ALRI kita memang merupakan bagian integral daripada Rakyat, dan terdiri
dari Rakyat.
Ketiga, negeri kita berwilayah luas,
terdiri dari beribu-ribu pulau, besar dan kecil, dengan pantai yang amat
panjang, dengan lautan-lautan luas, dan berpenduduk 100 juta orang. Negeri kita
ini masih belum merdeka penuh, yaitu masih terdapat pengaruh pengaruh
imperialism dan kolonialisme, dan juga masih semi feodal, dan oleh karena itu
ALRI kita harus memupuk terus ciri kepribadiannya yang anti fasis, demkratis,
anti imperialis dan bercita cita sosialisme. Hanya dengan demikian akan
terdapat dasar yang kokoh untuk turut serta menyelesaikan Revolusi Indonesia
yang anti imperialis dan anti feodal dan berhari depan Sosialisme.
Keempat, politik pertahanan nasional
kita harus sesuai sepenuhnya dengan revolusi kita. Faktor-faktor seperti letak
geografis harus dipergunakan seefektif-efektifnya untuk tujuan-tujuan revolusi
kita. Pandangan geopolitik yang bertujuan membenarkan politik ekspansi di satu
pihak dan politik menyerah-isme di pihak negeri-negeri yang menjadi obyek kaum
ekspansionis imperialis, dengan sendirinya tidak bisa diberi tempat dalam
politik pertahanan nasional kita yang harus di atas segala-galanya bersifat
revolusioner dan dipimpin oleh politik revolusioner ( Manipol).
Kelima, kepentingan-kepentingan
revolusi serta letak dan susunan negeri kita yang bersifat kepulauan berarti,
bahwa politik pertahanan kita harus memberi tempat yang sama kepada setiap
Angkatan Bersenjata dengan tidak menitikberatkan kepada salah satu Angkatan
Pertahanan Nasional hanya bisa kuat dengan tercapainya kordinasi efektif antara
keempat Angkatan.
Keenam, ALRI kita yang bertradisi
anti-imperialisme harus memegang peranan vital dalam memperkuat politik luar
negeri RI yang anti-imperialis, yang membela the new emerging forces dan
melawan the old established forces. Tugas ini sangat perlu dijunjung
tinggi oleh ALRI kita dimana negeri kita dikelilingi justru oleh negara-negara the
old established forces dengan angkatan-angkatan laut mereka yang selalu
siap untuk mengepung negeri kita yang berpolitik anti imperialis itu.
Demikian masalah-masalah yang ingin
saya kemukakan dalam ceramah ini. Mudah-mudahan, ceramah ini akan bermanfaat,
terutama dalam mempererat hubungan antara kita, dan dengan demikian ikut pula
merealisasi wejangan Bung Karno mengenai memberantas Komunisto-phobi dan juga
merealisasi serta menjunjung tinggi semboyan Dwitunggal Angkatan Bersenjata dan
Rakyat.
Langganan:
Komentar (Atom)

